Ketua Ansor Kotamobagu Soroti Vaksin Jadi Syarat Administrasi Pelayanan Publik

Kotamobagu114 Dilihat

JEJAK.NEWS, KOTAMOBAGU- Ketua Pimpinan Cabang GP Ansor Kotamobagu  Hamri Mokoagow menyoroti masalah vaksinasi Covid-19 jadi salah satu alasan administrasi untuk pelayanan publik di beberapa daerah melalui press release yang dikirimkan ke redaksi pada Minggu, 08/08/21. 

Berdasarkan keputusan Menkes, bahwa vaksin Covid-19 belum menjadi syarat pelayanan publik. Jadi kepada pemerintah daerah tingkat dua (kabupaten/kota) Se – Indonesia, agar kebijakan daerah harus sinkron dengan kebijakan nasional. 

Upaya pemerintah dalam melaksanakan vaksinasi kepada warga negara, adalah upaya yang harus di apresiasi semua pihak. Syaikh Nawawi mengatakan bahwa upaya Ulil Amri dalam kebaikan, hukumnya (wajib muakad), artinya wajib pokok, (plus). Sehingga harus diikuti semua warga negara. Tapi kewajiban ini tanpa mengabaikan hak asasi manusia, (HAM) yakni hak hidup dan memperoleh kehidupan, dalam konstitusi negara UUD 1945 (pasal 28 A hingga J) ini dijelaskan, begitu pula Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum bahwa negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa, dan HAM adalah anugerah Tuhan yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun.

Deklarasi of Universal HAM di Den Haag — Belanda 10 Desember 1948, yang melahirkan Piagam Magna charta, kemudian diratifikasi Indonesia menjadi hukum nasional, hingga saat ini melahirkan UU No 39 tahun 1999 tentang HAM juga menjelaskan detail dan komprehensif. 

Upaya vaksin adalah upaya negara, dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya, upaya ini didorong oleh pemerintah, dan ini tindakan nyata sebagai upaya negara melindungi segenap rakyat Indonesia, akan tetapi menjadikan vaksin sebagai syarat pelayanan publik ini akan sangat beresiko chaos nasional, sehingga mengapa pemerintah pusat melalui Menkes, menyatakan itu dan senantiasa mempertegasnya. Seseorang yang belum divaksin tentunya harus dan perlu mendapat sosialisasi rutin,. Karena vaksin akan memberikan perlindungan kepada warga negara satu dan lainnya. 

Kecuali, jika seseorang mengalami penyakit kronis, dan penyakit bawaan lainnya, (darah tinggi, jantung, kanker, tumor, asam lambung, asam urat, dan gangguan kecemasan berlebih) tentunya dengan pemeriksaan dan hasil medis dokter, maka jika mereka menolak divaksin dengan alasan keselamatan dan hidup maka ini harus mendapatkan pengecualian dengan syarat harus melakukan penguatan imun dalam bentuk lain, serta selalu secara berkala melakukan swab antigen sehingga kesehatan mereka akan terpantau dan tidak beresiko terhadap warga lainnya. 

Hingga saat ini beragam tindakan medis dan tindakan beberapa stakeholder harus dievaluasi dengan niatan kita melakukan jihad melawan covid, butuh penanganan serius tapi tetap rasional. Kasus meninggal covid tetapi kemudian hasilnya setelah meninggal dinyatakan positif, (sebelum-nya negatif), kasus orang meninggal karena kecelakaan dan di vonis covid, hingga orang yang saat di rumah sakit negatif, dan setelah meninggal hasilnya positif covid dan kebobrokan oknum yang mengatasnamakan instansi negara harus dievaluasi, demi mendorong ketepatan dan efektivitas program pemerintah pusat dan daerah dalam menyehatkan serta melindungi setiap warga negara. 

Mari kita dukung kebijakan pemerintah dan negara sebagai upaya Jihad melawan covid,sambil tetap melakukan evaluasi dan masukan terhadap kelalaian oknum oknum dan tenaga medis yang kadang dianggap abai hingga menyebabkan kematian warga negara. Tenaga medis terus melakukan jihad kolektif dan tampil terdepan melawan covid apalagi mereka yang berada di masing – masing rumah sakit hingga puskesmas, tak terkecuali perawat, dokter hingga bidan desa. Kepadanya, kami mendoakan dan memberikan apresiasi sebesar-besarnya karena mereka adalah pahlawan, tapi kita menolak oknum – oknum yang hanya mengambil keuntungan dibalik pandemi nasional dan jihad pemerintah dan rakyat. 

Stop upaya upaya melegitimasi vaksin sebagai syarat pelayanan publik, karena sudah jelas pernyataan pemerintah secara nasional. Apalagi menjadikan syarat vaksin terhadap pembayaran honorarium imam, pegawai syari’i karena selain ini bertentangan dengan kebijakan nasional, ini juga sangat menyengsarakan tokoh tokoh Agama kita dimasa mereka harus menanggung pendidikan anak-nya dan situasi ekonomi lainnya di masa pandemi.(*). 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *